Radite jenar, 21Wilapa 20 20
( Minggu Pon, 21 Juni 2020 )
Ekspedisi Giring Manah
4 Nama Tokoh besar dalam Keraton Mataram, dari awal sebelum berdirinya Keraton Mataram hingga berdiri megah dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Panembahan Senopati telah membuat filosofi spiritulitas serta motivasi pada masyarakat Jawa pada umumnya.
Nama Mataram tidak akan lepas dari nama Tokoh Besar yaitu :
#Ki Ageng Giring ( Giring )
#Ki Ageng Pemanahan ( Manah )
#Pangeran Purbaya ( makam di Wot Galeh/ Woting Penggalih )
#Panembahan Senopati ( makam Kotagede/ Kutha ageng ).
Nama nama tokoh tersebut menginspirasi dalam sebuah filosofi NGGIRING MANAH AMERGA WOTING PENGGALIH SUPAYA BISA MLEBU KUTHA AGENG ( MENATA HATI & PIKIRAN AGAR DAPAT MASUK DALAM KEMULIAAN ).
Dimana dalam kesempatan ini akan kami babar dalam memaknai filosofi itu tadi dalam sebuah cerita tiap tokoh yg tertera diatas.
Dari pitutur lalu nggiring manah karna ada woting penggalih agar dapat memasuki kutha ageng/ kemuliaan
Mungkin belum banyak diketahui oleh sahabat Cakra bahwa Ki Ageng Giring mempunyai asma timur (nama kecil/asli) Raden Mas Kertonadi sebelum beliau mendapatkan gelar dan Ki Ageng Pemanahan mempunyai asma timur (nama kecil/asli) Ki Bagus Kuncung sebelum beliau mendapatkan gelar juga.
Kalau boleh bercerita sedikit mengenai ekspedisi nggiring manah tersebut, kami sudah mencoba napak tilas atau merekonstruksi bagaimana perjalanan antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dalam mendapatkan "Wahyu Gagak Emprit" tersebut.
Konon berawal dari Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dimana beliau adalah para ksatria yang mempunyai satu guru yaitu Sunan Kalijaga. Beliau berdua mendapat titah dari Sunan Kalijaga untuk bertapa guna mencari wahyu Majapahit yang hilang dan akan bisa menurunkan keturunan raja-raja di kerajaan Mataram. Tapi wahyu tersebut akan berbentuk apa dan kapan datangnya Sunan Kalijaga tidak mengatakannya. Singkat cerita beliau berdua dititahkan untuk bertapa oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pemanahan bertapa dan tirakat di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Kembang Lampir
dan Ki Ageng Giring di titahkan tirakat dengan menanam sepet (serabut) kelapa yang kering. Kalau dinalar serabut kelapa kering yang ditanam tidak mungkin akan bisa tumbuh, tetapi atas seijin Tuhan Yang Maha Kuasa serabut tersebut bisa tumbuh. Bertahun tahun pohon kelapa tersebut di rawat oleh Ki Ageng Giring, akhirnya Beliau memberikan tanggung jawab kepada Ki Tunggul Wulung untuk merawat pohon kelapa tersebut hingga akhirnya pohon tersebut berbuah. Tetapi anehnya buah tersebut hanya ada satu saja dan dipuncaknya dihinggapi seekor burung Gagak. Ki Ageng Giring kemudian mendapatkan wahyu berupa suara yang mengatakan bahwa barang siapa yang meminum air kelapa ini sampai habis sekaligus (sak endhegan/ sekali teguk ) maka orang itu akan dapat menurunkan anak yang akan menjadi raja di Tanah Jawa sampai anak cucunya secara turun temurun. Saking girang/ senangnya beliau maka beliau menyabdha (nyabdha dalam bahasa jawanya) sebuah pohon/ daun yg sampai sekarang dikenal dengan nama "godhong girang".
GODONG GIRANG
Tetapi hal itu juga bisa buat pengingat-ingat kepada kita bahwa kalau kita senang/ girang hatinya itu jangan berlebihan, tetapi biasa-biasa saja, ditakutkan jika apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Bagaimanapun juga kita yang berkehendak tetapi kembali lagi Tuhan yang menentukan. Godhong girang tersebut masih bisa kita jumpai di area pemakaman Ki Ageng Giring sampai saat ini. Akhirnya karena mempunyai spritual yang tinggi buah kelapa itu dipetik dengan hanya menjetikan jari (metheti dalam bahasa jawa) dan pohon kelapa tersebut merunduk akhirnya buah kelapa tersebut dibawa pulang.
Lalu Ki Ageng Giring dengan istrinya yang bernama Nyai Ageng Giring (Nyai Talang Warih) melakukan pembicaraan di sendang yang sekarang dikenal dengan nama "Sendang Pitutur".
SENDANG PITUTUR
Disitu Ki Ageng Giring memberikan pitutur atau nasehat serta informasi bila Beliau mendapatkan "Wahyu Gagak Emprit", berupa apa wahyu tersebut mungkin hanya beliau yang tahu. Akhirnya Ki Ageng Giring hanya berpesan supaya Nyai Giring menjaga degan (kelapa muda) yang ada di rumah dan diletakan di pogo. Setelah selesai memberikan nasihat lalu dari sendang pututur Ki Ageng Giring langsung menuju ke ladang supaya beliau haus dan bisa meminum air kelapa tersebut dengan sekali teguk dan beliau juga ke sungai yang bernama "Kali Nyamat" yang sekarang, sungai itu dikenal dengan nama "Kali Gowang" untuk bebersih mensucikan diri sebelum beliau meminum degan tersebut dan Nyai Giring kembali ke rumah untuk menjaga degan seperti yang sudah di perintahkan Ki Ageng Giring.
Sebenarnya Ki Ageng Pemanahan juga diberitahu oleh Sunan Kalijaga bahwa "Wahyu Gagak Emprit" tersebut sudah jatuh berada di desa Sodo giring dan beliau di titahkan untuk pergi ke desa tersebut. Di satu sisi karena sakit hatinya Bintulu Aji (Ki Tunggul Wulung) terhadap Ki Ageng Giring, karena dia yang sudah merawat pohon kelapa tersebut tetapi dia tidak meminta ijin/ diberitahu kalau buah kelapa tersebut sudah dipetik, akhirnya dia membocorkan rahasia wahyu gagak emprit tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan. Mendengar berita itu Ki Ageng Pemanahan segera bergegas berangkat menuju ke rumah Ki Ageng Giring. Sesampainya di rumah Ki Ageng Giring, yang dijumpai hanyalah istri Ki Ageng Giring karena Ki Ageng Giring sedang melakukan ritual bebersih di Kali Nyamat. Sebenernya pada waktu itu Nyai Giring sangat kaget dengan kedatangan Ki Ageng Pemanahan, Nyai Giring mencoba bertanya ada keperluan apa Ki Ageng Pemanahan datang ke rumah Ki Ageng Giring, dijawab oleh beliau hanya ingin menanyakan kabar serta memberi salam saja karena bagaimanapun juga Ki Ageng Giring adalah saudara seperguruan yang lebih tua. Singkat cerita karena setelah perjalanan jauh Ki Ageng Pemanahan sangatlah haus dan Beliau meminta minum kepada Nyai Giring, akhirnya beliau mengambilkan minum, tetapi Ki Ageng Pemanahan meminta degan tersebut untuk Beliau minum, Nyai Giring mencoba untuk menghalangi niat dari Ki Ageng Pemanahan namun Ki Ageng Pemanahan terus meminta degan tersebut dan memaksa untuk meminum air kelapa tersebut. Akhirnya Ki Ageng Pemanahan berhasil merebut degan tersebut dan meminumnya sampai habis. Nyai Giring tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis sejadi-jadinya karena beliau merasa tidak bisa menjaga apa yang sudah dinasehatkan dan diperintahkan oleh suaminya yaitu Ki Ageng Giring. Setelah meminum air kelapa tersebut Ki Ageng Pemanahan segera mohon pamit kepada Nyai Giring.
Sebenarnya pada saat Ki Ageng Pemanahan meminum air kelapa tersebut Ki Ageng Giring pada saat bebersih diri sudah mendapatkan firasat, dimana padasan ditempat Beliau berdiri gowang (amblas) maka sungai Kali Nyamat tersebut dinamakan "Kali Gowang".
JEJAK KAKI KI AGENG GIRING
Dalam keadaan yang sedih sekali Nyai Giring menyusul suaminya ke kali gowang tersebut, beliau menangis sambil bersujud mencium kaki Ki Ageng Giring untuk mohon ampun serta meminta maaf karena kelalaiannya tidak bisa menjaga apa yang sudah diamanahkan. Dalam keadaan marah, sedih dan penuh dendam Ki Ageng Giring menangis, karena kesaktian beliau tetasan air mata tersebut menetes di bebatuan yang membikin batu tersebut berlubang, akhirnya sampai saat ini batu tersebut dikenal dengan nama "Watu Dakon" (karena mirip dengan alat permainan dakon). Karena kegundahan dan kemaraha hati Beliau, sambil menangis Kia Ageng Giring berjalan dan menghentakan kakinya ke salah satu batu yang berada di situ. Bekas tapak kaki beliau pun masih ada sampai saat ini. Letaknya tidak jauh dari watu dakon tersebut.
WATU DAKON
Kemudian Ki Ageng Giring bergegas untuk mengejar Ki Ageng Pemanahan, beliau sangatlah kuatir kalau dalam pengejaran tersebut tidak bisa menemukan Ki Ageng Pemanahan, maka lokasi dimana pada saat Ki Ageng Giring merasa kuatir itu yang dulunya hutan jati/alas jati ilalang diberi nama "alas kumitir". Lalu dalam pengejaran tersebut membuahkan hasil, Ki Ageng Giring dapat menemukan Ki Ageng Pemanahan, lalu berteriaklah Ki Ageng Giring memanggil Ki Ageng Pemanahan, tetapi panggilan tersebut tidak dihiraukannya dan beliau tetap berlari, akhirnya karen saking marahnya Ki Ageng Giring berteriak (bengok dalam bahasa jawa) memanggil Ki Ageng Pemanahan, karena kesaktian beliau sampai-sampai salah satu pohon jati yang ada di sekitar terutama di depannya jadi terbakar, maka tempat yang dulunya hutan tersebut dinamakan "Alas Jati Bengok".
Pada akhirnya Ki Ageng Pemanahan berhenti dalam pelarian beliau dan terjadilah pertarungan antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, karena Ki Ageng Giring lebih sakti pertarungan tersebut dimenangkan oleh Ki Ageng Giring. Lalu setelah mereka sadar dengan bertarung apalagi dengan saudara satu seperguruan sangatlah tidak terpuji dan tidak mendapatkan hasil apa-apa berhentilah beliau-beliau dalam bertarung. Lalu diceritakan bahwa disana ada dua buah batu dimana batu tersebut digunakan untuk berdialog (jagongan dalam bahasa jawa) dan bernegosiasi sampai akhirnya keduanya sepakat menyelesaikan dan mengakhiri permasalahan ini, mengingat keduanya satu seperguruan.
WATU JAGONG
Karena tau yang akan mejadi raja adalah Ki Ageng Pemanahan maka Ki Ageng Giring memberikan 3 pusaka yaitu Tombak Udan Arum, Songsong Agung Tunggul Naga dan Songsong Agung Songgo Buwono.
Kemudian keduanya berpisah di tempat tersebut, Ki Ageng Giring melanjutkan perjalanan ke Sendang Talang Warih,
SENDANG TALANG WARIH
untuk melakukan sesuci diri, disendang tersebut beliau membersihkan diri dari segala permasalahan yang dihadapi seperti iri, dengki, marah bahkan dendam, dibersihkan dan disucikan di sendang itu sampai akhirnya Beliau meninggal dan dimakamkan di lokasi yg tidak jauh dari sendang tersebut,
PESAREAN KI AGENG GIRING III
sedangkan Ki Ageng Pemanahan melanjutkan perjalanan menuju ke Alas Mentaok yg nantinya menjadi Kota Gedhe (kerajaan Mataram).
Kalau sobat Cakra ketahui makam atau petilasan-petilasan yang sudah kami ceritakan tersebut bnar-benar ada dan sobat Cakra bisa datang untuk kirim doa bagi para leluhur kita, asal jangan digunakan untuk keperluan yang negatif nanti jatuhnya akan menjadi musrik.
Ini adalah lokasi dimana makam atau petilasan tersebut berada:
Petilasan Rumah Ki Ageng Giring dan Sendang Pitutur berada di satu lokasi yaitu di dusun Candi, Paliyan Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta.
Petilasan Kali Gowang, Alas Kumitir Jati Bengok dan Watu Jagong jg berada pada satu lokasi yang tidak terlalu jauh yaitu berada di dusun Kendal, Paliyan Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta.
Makam Ki Ageng Giring dan Sendang Talang Warih terletak di satu lokasi di Sidorejo, Sodo, Paliyan, Wonosari Gunung Kidul, Yogyakarta.
Dan yang terakhir adalah Mentaok (Alas Mentaok) yang sekarang lebih dikenal dengan Kota Gedhenya dan disitulah berdiri kerajaan Mataram.
VISUALISASI PENJAGA KALI GOWANG
Lokasi maps :